Kisah-kisah Unik Tentang Orang Buna di Lamaknen, Belu, NTT

Identitas Saya

Foto saya
Atambua, Timor, Nusa Tenggara Timur, Indonesia
Hidup hanya bisa disyukuri. Banyak hal di luar jangkauan pikir saya, bukan karena Tuhan tidak percaya kekuatanku melainkan karena Tuhan mengasihi ku secara pasti. Keempat saudara/i ku telah kembali secepat itu, membuat orang menduga kematianku akan secepat itu pula. Tetapi lain dugaan manusia, Allah punya rencana tersendiri bagiku hingga saat ini. Kepadaku malah diserahkan 4 anak menggantikan kehadiran ke-4 saudara/i ku yang telah pergi....justru setelah menikah dengan Maria Ansila tanpa kehadiran ayah dan ibu kandungku. Sejak 2003 yang lalu saya bekerja di SMAK Suria Atambua sebagai guru. Dan pada Agustus 2017 mendapat tugas baru di SMAN 2 Tasifeto Timur di Sadi, Kecamatan Tasifeto Timur, Belu.

Kamis, 07 April 2011

Sebuah Kecemasan

Ketika seorang sesepuh dari kalangan orang Buna' menyusun sebuah kamus mini Bahasa Indonesia-Buna' pada April 2009 silam, banyak tanggapan yang muncul. Ada yang senang, bangga karena sebuah bahasa daerah yang digunakan di Kecamatan Lamaknen, Lamaknen Selatan, di Aitoun, Kecamatan Raihat, di Kota Atambua dan sekitarnya, dan beberapa tempat lain seperti di Welaus, Webora, Belu, Timor, NTT dan beberapa tempat di Timor Leste yang berbatasan dengan Kabupaten Belu akhirnya didokumentasikan dengan dalam sebuah kamus. Jarang ditemukan kamus bahasa daerah di wilayah ini. Tetapi yang lainnya malah merasa geli, lucu, sebab bahasa itu semakin jarang digunakan apalagi di tempat umum hampir tidak pernah didengar lagi.
Bagi saya sendiri, hasil karya mengumpulkan kosa kata dan menterjemahkannya dalam Bahasa Indonesia merupakan pekerjaan berat yang sulit dibuat. Syukurlah seorang Drs. Anton Bele, M.Si yang sebetulnya seorang katekis atau guru agama Katolik itu mau mulai usaha ini. Ia merintis upaya pewarisan budaya ketika banyak orang menganggapnya tidak terlalu berguna, bahkan mungkin tidak pernah terpikirkan sama sekali.
Beberapa tahun lalu saya sempat bertemu seorang asing asal Australia, yang katanya sedang membuat penelitian di wilayah Lamaknen. Sapaan saya dalam Bahasa Indonesia dijawabnya dalam Bahasa Buna'. Saya kaget bukan main, Antonie ternyata bukan baru mau belajar bahasa daerah asal saya. Dia sudah sangat lancar berbahasa Buna'.
Saya agak malu, ketika beberapa kalimat Bahasa Indonesia tidak dibalas dengan Bahasa Indonesia. Padahal kami sendiri suka campur aduk kosa kata, ketika berbicara dalam Bahasa Buna' hampir tidak ada kalimat yang disisip dengan satu-dua kata Bahasa Indonesia. Apalagi jika berceritera di antara banyak orang. Bahasa Buna' hanya digunakan bila ada yang sangat rahasia. Itupun hanya satu-dua kata atau frase.
Ada rasa malu, minder, seolah Bahasa Buna' itu bahasanya orang kelas bawah, yang digunakan hanya untuk berbisik-bisik. Saya juga akhirnya teringat, belasan tahun yang lalu ketika kami masih duduk di bangku SMP pernah beredar buku Libur Por. Sebuah buku berwarna merah itu adalah terjemahan Kitab Suci Perjanjian Baru. Saya pernah membacanya, namun banyak sekali kosa kata yang baru bagi saya. Saya akhirnya merasa asing dengan buku itu.
Salah satu orang yang saya kagumi saat itu adalah Pastor Paroki Nualain, Pater Vincent Wun, SVD. Imam yang satu ini semasa kecilnya berada di lingkungan orang Dawan di Niki-Niki, Timor Tengah Selatan. Tapi dalam perayaan ekaristi suci, beliau biasa membaca Injil dalam Bahasa Buna'. Setahu saya kebiasaan itu terhenti saat sang gembala umat yang sederhana itu mutasi ke tempat tugas lain.
Belum lama ini saya bertemu dengan seorang tokoh pemuda asal Kewar, Lamaknen yang kini menetap di Atambua. Dia dengan polos mengungkapkan kecemasannya, karena setiap perjumpaan dengan orang Buna' yang dikenalnya jarang menggunakan bahasa daerah lagi. Kalau toh mencoba menyapa seseorang dengan Bahasa Buna' tanggapannya pasti selalu dalam Bahasa Indonesia.
Anak-anak yang lahir dari pasangan suami istri orang Buna' yang kini di Atambua dan sekitarnya malah tidak tahu apa-apa. Mungkin kosa kata Bahasa Buna' yang dikenal tidak lebih dari puluhan kata.Nah, kalau seperti ini bukan tidak mungkin suatu saat Bahasa Buna' hanya ada dalam memori, kenangan tempo dulu, bahwa nenek moyang kami pernah menggunakan Bahasa Buna'. Bahasa itu bukan lagi bahasa anak-cucu kami. Mengapa? Karena kami sendiri tidak melestarikannya.

Pengikut