Kisah-kisah Unik Tentang Orang Buna di Lamaknen, Belu, NTT

Identitas Saya

Foto saya
Atambua, Timor, Nusa Tenggara Timur, Indonesia
Hidup hanya bisa disyukuri. Banyak hal di luar jangkauan pikir saya, bukan karena Tuhan tidak percaya kekuatanku melainkan karena Tuhan mengasihi ku secara pasti. Keempat saudara/i ku telah kembali secepat itu, membuat orang menduga kematianku akan secepat itu pula. Tetapi lain dugaan manusia, Allah punya rencana tersendiri bagiku hingga saat ini. Kepadaku malah diserahkan 4 anak menggantikan kehadiran ke-4 saudara/i ku yang telah pergi....justru setelah menikah dengan Maria Ansila tanpa kehadiran ayah dan ibu kandungku. Sejak 2003 yang lalu saya bekerja di SMAK Suria Atambua sebagai guru. Dan pada Agustus 2017 mendapat tugas baru di SMAN 2 Tasifeto Timur di Sadi, Kecamatan Tasifeto Timur, Belu.

Selasa, 17 Mei 2011

Tulisan-tulisan Berikut

Dalam pekan-pekan mendatang ini beberapa tulisan singkat yang akan menyusul adalah:  

1. Molo kaba
2. Tubi lai
3. An tama
4. Bosok
5. Pana gawa

Tiap Keluarga Punya 5 Anak?

Di negara kita Indonesia, pemerintah menganjurkan setiap keluarga WNI memiliki 2 anak. Aturan keluarga berencana (KB) yang dicanangkan selama ini perlu dipahami secara benar. Di lain pihak meneruskan keturunan dengan ber-anak cucu merupakan hak bagi orang dewasa yang telah menikah secara sah. Di sisi lain, meneruskan keturunan disertai tanggung jawab berat: membesarkan dan mendidik anak-anak yang merupakan buah cinta suami-istri itu mengantar mereka hingga menjadi orang yang mandiri, dewasa dan bahagia. Mengingat angka natalitas (kelahiran) yang sangat laju dan tinggi, berdampak pada kepadatan penduduk, maka himbauan pemerintah Indonesia itu perlu dipahami dan diterima dengan lapang dada.

Dulu ada anggapan bahwa memiliki banyak anak adalah rejeki.Banyak anak, banyak rejeki. Bertambahnya jumlah anak-anak yang dilahirkan dari rahim seorang ibu rumah tangga menjadi berlimpahnya rejeki sebetulnya merupakan pandangan yang mereduksi kehadiran anak-anak Tuhan itu hanya dari segi tenaga kerja semata. Luas hamparan sawah dan ladang, tak terhitung jumlah hewan ternak, akan menjadi lahan produktif bagi sebuah keluarga jika sang ayah akhirnya dapat dibantu oleh tenaga kerja gratis, anak-anaknya sendiri.

Mewariskan pola pikir ini dapat membuat umat manusia dewasa ini ke jaman masa lampau, nomaden-misalnya. Sebagai orang Buna' saya sangat tersinggung ketika seorang rekan saya berkomentar, "Orang Buna' tidak cocok dengan program KB-nya pemerintah Indonesia."

Baru kemudian hari saya sadar, bahwa bagi orang Buna' rupanya ada aturan main tersendiri yang mengatur soal jumlah anak dalam setiap keluarga batih. Saya tidak tahu persis apa alasannya dan latar belakang apa yang menjadi landasan, tapi tampaknya orang Buna' mengijinkan warganya memiliki anak sampai 5 orang. Ini terbukti dengan sapaan bagi anak-anak dengan nama tertentu bagi anak pertama sampai dengan anak kelima.

Apa' : anak pertama laki (jika anak pertamanya perempuan biasa disapa dengan nama manis "Eba" atau "Aiba". Sedangkan anak kedua: Pou, anak ketika: Uju, anak keempat: Uka, anak kelima: Gulo'. Untuk anak kedua sampai dengan anak kelima, sapaannya sama antara laki-laki dan perempuan, yakni Pou, Uju, Uka dan Golo'.

Hal ini masih menjadi kajian yang hingga tulisan diposting saya belum bisa memperoleh jawaban yang pasti. Namun demikianlah kenyataannya bahwa orang Buna' mempunyai sapaan khas bagi anak-anaknya hingga anak kelima.

Keluarga Berencana ala Pemerintah Indonesia menganjurkan "cukup 2 anak". KB-nya orang Buna' itu "cukup 5 anak"????  

Senin, 16 Mei 2011

Tir Rujuk

Musim menikmati suguhan lezat dari hasil tanam musim hujan 2011 sudah lewat. Hasil jagung muda, kacang-kacangan sudah berlalu sejak beberapa bulan lalu, kecuali hasil sawah di wilayah tertentu. Namun satu hal ini perlu menjadi bahan ceritera, yakni mengenai jenis kacang "turis" yang biasanya orang Belu tanam bersamaan dengan menanam jagung.

Kacang "turis" biasa disebut "tir" dalam Bahasa Buna'. Orang Buna' memiliki kebiasaan khusus ketika memanen hasil kacang "tir". Buahnya agak bulat seperti jagung, ukurannya hampir sama besar. Warnanya agak ungu waktu masih mudah, tapi kalau sudah agak tua dan kering warnanya berubah menjadi hitam.

Biasanya direbus bersama dengan jagung, bisa juga dengan nasi, sehingga warna masakan agak ungu kebiru-biruan. Bagi sebagian orang, kacang turis atau "tir" ini dicampur dengan beras saat menanak nasi. Bisa juga menjadi lauk pelengkap pada jagung rebut. Kacang "tir" yang masih muda dapat direbus bersamaan dengan nasi, tapi kalau kacangnya sudah tua berwarna hitam pekat, kacang mesti direbus duluan sampai setengah matang baru mengisi beras pada air yang sedang mendidih itu.

Terus terang bagi mereka yang tidak biasa, kacang "tir" ini sering membuat perut kembung. Apalagi bagi anak-anak kecil "tir" agak riskan.

Untuk menghindari gangguan perut, orang Buna' punya tata cara tersendiri. Sebelum menyantap nasi yang campur kacang "tir", sang ayah atau si ibu mengambil sebutir "tir" lalu menghancurkannya dengan jari-jemari lalu mengoleskannya pada dahi, dada dan perut. Anehnya hal ini lebih banyak dibuat pada anak-anak saja.  

Menurut versi tertentu, cara ini dibuat agar anak-anak yang menyantap panenan tahun itu terhindar dari gangguan penyakit yang bisa saja menyerang lambung atau usus (perut). Versi lain menjelaskan, kebiasaan itu dari segi kepercayaan (agama) sebagai tanda syukur atas panenan tahun itu.

Jika versi kedua itu yang diikuti, maka keluarga-keluarga orang Buna' menjadi sangat religius, karena tahu bersyukur atas hasil panen. Jagung dan padi biasanya dibawa ke tempat tertentu yang ditentukan di tengah lahan garapan. Di tempat itulah contoh panenan tahun diletakkan. Para petani memanen padi dan/atau jagung yang tampak berisi baik, subur. Sedangkan "tir" dihargai dengan ritus lain yang biasa dibuat di tempat makan dan pada saat suguhan perdana dari hasil panen tahun itu.Acara yang satu inilah yang disebut "tir rujuk".

         

Kamis, 07 April 2011

Sebuah Kecemasan

Ketika seorang sesepuh dari kalangan orang Buna' menyusun sebuah kamus mini Bahasa Indonesia-Buna' pada April 2009 silam, banyak tanggapan yang muncul. Ada yang senang, bangga karena sebuah bahasa daerah yang digunakan di Kecamatan Lamaknen, Lamaknen Selatan, di Aitoun, Kecamatan Raihat, di Kota Atambua dan sekitarnya, dan beberapa tempat lain seperti di Welaus, Webora, Belu, Timor, NTT dan beberapa tempat di Timor Leste yang berbatasan dengan Kabupaten Belu akhirnya didokumentasikan dengan dalam sebuah kamus. Jarang ditemukan kamus bahasa daerah di wilayah ini. Tetapi yang lainnya malah merasa geli, lucu, sebab bahasa itu semakin jarang digunakan apalagi di tempat umum hampir tidak pernah didengar lagi.
Bagi saya sendiri, hasil karya mengumpulkan kosa kata dan menterjemahkannya dalam Bahasa Indonesia merupakan pekerjaan berat yang sulit dibuat. Syukurlah seorang Drs. Anton Bele, M.Si yang sebetulnya seorang katekis atau guru agama Katolik itu mau mulai usaha ini. Ia merintis upaya pewarisan budaya ketika banyak orang menganggapnya tidak terlalu berguna, bahkan mungkin tidak pernah terpikirkan sama sekali.
Beberapa tahun lalu saya sempat bertemu seorang asing asal Australia, yang katanya sedang membuat penelitian di wilayah Lamaknen. Sapaan saya dalam Bahasa Indonesia dijawabnya dalam Bahasa Buna'. Saya kaget bukan main, Antonie ternyata bukan baru mau belajar bahasa daerah asal saya. Dia sudah sangat lancar berbahasa Buna'.
Saya agak malu, ketika beberapa kalimat Bahasa Indonesia tidak dibalas dengan Bahasa Indonesia. Padahal kami sendiri suka campur aduk kosa kata, ketika berbicara dalam Bahasa Buna' hampir tidak ada kalimat yang disisip dengan satu-dua kata Bahasa Indonesia. Apalagi jika berceritera di antara banyak orang. Bahasa Buna' hanya digunakan bila ada yang sangat rahasia. Itupun hanya satu-dua kata atau frase.
Ada rasa malu, minder, seolah Bahasa Buna' itu bahasanya orang kelas bawah, yang digunakan hanya untuk berbisik-bisik. Saya juga akhirnya teringat, belasan tahun yang lalu ketika kami masih duduk di bangku SMP pernah beredar buku Libur Por. Sebuah buku berwarna merah itu adalah terjemahan Kitab Suci Perjanjian Baru. Saya pernah membacanya, namun banyak sekali kosa kata yang baru bagi saya. Saya akhirnya merasa asing dengan buku itu.
Salah satu orang yang saya kagumi saat itu adalah Pastor Paroki Nualain, Pater Vincent Wun, SVD. Imam yang satu ini semasa kecilnya berada di lingkungan orang Dawan di Niki-Niki, Timor Tengah Selatan. Tapi dalam perayaan ekaristi suci, beliau biasa membaca Injil dalam Bahasa Buna'. Setahu saya kebiasaan itu terhenti saat sang gembala umat yang sederhana itu mutasi ke tempat tugas lain.
Belum lama ini saya bertemu dengan seorang tokoh pemuda asal Kewar, Lamaknen yang kini menetap di Atambua. Dia dengan polos mengungkapkan kecemasannya, karena setiap perjumpaan dengan orang Buna' yang dikenalnya jarang menggunakan bahasa daerah lagi. Kalau toh mencoba menyapa seseorang dengan Bahasa Buna' tanggapannya pasti selalu dalam Bahasa Indonesia.
Anak-anak yang lahir dari pasangan suami istri orang Buna' yang kini di Atambua dan sekitarnya malah tidak tahu apa-apa. Mungkin kosa kata Bahasa Buna' yang dikenal tidak lebih dari puluhan kata.Nah, kalau seperti ini bukan tidak mungkin suatu saat Bahasa Buna' hanya ada dalam memori, kenangan tempo dulu, bahwa nenek moyang kami pernah menggunakan Bahasa Buna'. Bahasa itu bukan lagi bahasa anak-cucu kami. Mengapa? Karena kami sendiri tidak melestarikannya.

Pengikut