Kata "Robon" atau yang lazim diucap "dobon" ini arti denotasinya adalah menggantung diri. Misalnya seorang anak kecil memanjat pohon, lalu menggantung diri. Namun dalam pergaulan setiap hari kata ini sering digunakan dalam pengertian lain. Secara konotatif, kata "robon" atau "dobon" digunakan dengan arti lain "sanksi adat". Neto gege robon ta' artinya saya masih menuntut pertanggungjawabannya atas kekilafan tertentu. Atau saya menanti sanksi adat yang harus dia tanggung dalam relasinya dengan saya.
Tujuannya sangat positif, karena dengan demikian, siapapun diajak untuk senantiasa menjaga kata-frase-kalimat yang menyinggung perasaan apalagi melukai hati orang lain. Orang harus bersikap dan bertingkah laku yang layak dan sopan.
Sebagai ketentuan hukum yang tidak tertulis, "robon" tidak didasarkan uraian rinci yang dapat menjawab segala macam kemungkinan. Melainkan hanya mengikuti kebiasaan yang lazim di wilayah tertentu. Sanksi biasanya agak ringan, misalnya harus menyiapkan sopi 1 botol yang dihidangkan saat makan bersama.
Orang Buna' yang tersinggung dan "robon" biasanya mengungkapkan kekesalannya terhadap orang atau pihak tertentu saat makan bersama pada salah satu moment. Misalnya saat ada anggota keluarga yang meninggal dunia. Dalam ceritera ketika makan bersama, yang biasanya selalu dengan hidangan minuman beralkohol, orang yang "robon" mulai curhat menyatakan kesal atas kekilafan orang tertentu.
Kisah kejadian dirunut berdasarkan tempat ataupun secara kronologis. Yang bersalah diminta mendengarkan dengan setia. Kadang ada protes, pembenaran diri, namun biasanya yang lebih muda mengalah. Dengan rasa hormat dan penghargaan tinggi kepada yang berusia lebih dewasa, orang yang tutur kata atau sikap dan atau tingkah lakunya dipersoalkan, siap membayar upah salahnya.
Tentunya tujuan akhirnya satu yakni kebersamaan, persaudaraan, kekeluargaan, hormat-menghormati, damai dan cinta. Yah.... yang salah perlu berubah. Kepadanya diberi waktu menata diri, tanpa harus dikucilkan.... Semua itu demi ....... bonum comunae.....